MGMP SOSIOLOGI SMA KOTA TEGAL

MGMP SOSIOLOGI SMA KOTA TEGAL
Forum untuk peningkatan profesonalitas Guru

Jumat, 21 Mei 2010

CATATAN SEORANG GURU

MENUMBUHKAN MOTIVASI UNTUK MEMPELAJARI SOSIOLOGI DI KELAS
Oleh : Noerhidayah Suprihatini, S.Sos.
Guru SMA Negeri 3 Kota Tegal



Persepsi-persepsi atau anggapan-anggapan negatif terhadap mata pelajaran Sosiologi telah menghinggapi sejumlah siswa SMA. Mata pelajaran Sosiologi oleh siswa dianggap sebagai mata pelajaran yang membosankan karena sajiannya bertele-tele dan untuk menguasainya dibutuhkan kemampuan menghafal yang luar biasa. Penilaian yang kurang mengesankan ini terlahir dari kenyataan bahwa ilmu sosiologi sebagai produksi masa lampau yang dalam penyajiannya tidak relevan dengan konteks sosial siswa. Kontekstualisme ini diperhebat dengan kejenuhan mental dalam mengejar tuntutan pemenuhan kurikulum tingkat satuan pendidikan yakni menghafal sejumlah kompetansi yang tersajikan dalam aneka buku wajib mata pelajaran Sosiologi. Seolah-olah para siswa telah terasing dari diri mereka dan telah menjadi robot kurikulum, sehingga mereka tidak mempunyai waktu lagi untuk bermain, refreshing dan melakukan interaksi sosial.
Tatkala guru menyajikan sejumlah teori sosial, mereka semakin bingung. Apa lagi, sajian-sajian itu tidak tepat sasaran dan tidak sesuai dengan situasi sosial lingkungan sekitarnya. Mereka harus berpikir dua kali untuk mengasosiasikan teori dengan kenyataan hidupnya dan selanjutnya mencerna teori sajian guru. Keterlambatan dalam menginternalisasi materi pun terjadi. Konsep siswa baru pada tahap asosiasi, tetapi waktu pelajarannya keburu selesai. Siswa enggan melanjutkan hal itu lagi karena sudah terjaring limit waktu dan harus beralih ke mata pelajaran yang lain.
Jika keacuhan siswa karena kehilangan persepsi/anggapan positif dalam mempelajari sosiologi maka yang terpenting yang harus dilakukan oleh guru adalah mempunyai pemahaman yang tangguh tentang motivasi dan menemukan pola pembelajaran yang menumbuhkan motivasi siswa. Morgan (1986) dalam bukunya Introduction To Psychology, menjelaskan bahwa siswa yang malas itu disebabkan karena tidak adanya insentif yang menarik bagi dirinya dan ia pun tidak merasakan perasaan yang menyenangkan dari pembelajaran. Insentif dan perasaaan menyenangkan ini menjadi dorongan yang berarti bagi siswa. Seseorang berperilaku tertentu karena ingin mendapatkan sesuatu. Contoh insentif yang paling umum dan paling dikenal oleh siswa misalnya jika mereka naik kelas akan dibelikan mobil atau sepeda baru oleh orang tua. Hal ini bukan berarti guru harus seperti orang tua yang membelikan mobil, tetapi menyiapkan insentif berupa pujian (reinforcement) atau kesempatan melakukan pekerjaan lain yang memungkinkan mereka tidak terpinggirkan dari kawan-kawan lainnya.
Pujian guru menunjukkan penghargaan dan perhatian terhadap siswa. Siswa seringkali haus perhatian dan senang dipuji. Jadi dari pada memberikan perhatian ketika siswa tidak mau belajar dengan cara marah-marah dan hanya berkomentar yang merendahkan siswa, akan lebih efektif perhatian guru diarahkan pada suatu hal yang menumbuhkan rasa percaya diri dan kemauan untuk mencari informasi. Misalnya, si A pada saat ini belum bisa menjawabnya dengan baik, mungkin besok dia akan mempresentasikan informasi tersebut secara lebih lengkap.
Kerapkali insentif positif seperti di atas kurang manjur dan bahkan tidak memberi faedah perubahan bagi siswa. Kalau demikian halnya maka guru harus melihat kondisi yang memungkinkannya. Jika kondisi memaksa guru harus mempergunakan insentif negatif maka tipe insentif itu haruslah yang bermaksud untuk menghindar perolehan insentif yang tidak menyenangkan itu. Misalnya, si A tidak mengerjakan tugas bukan karena ia tidak bisa tetapi karena malas, maka insentif yang bisa diberikan adalah menyuruhnya untuk mengerjakan tugas tetapi dalam porsi yang lebih banyak untuk mengejar ketinggalannya. Pada kondisi ini diperlukan keahlian guru untuk melihat karakter siswa. Jika karakternya dipahami maka guru akan memberikan insentif yang lebih tepat.
Selain adanya insentif, motivasi juga bisa muncul bila ada pemenuhan kebutuhan yang signifikan dalam mempelajari sesuatu. Siswa akan dipacu jika ia menemukan manfaat yang berarti bagi dirinya yang kemudian bisa dilanjutkan dengan aktualisasi dirinya melalui pembelajaran itu, sebagaimana dikatakan oleh Abraham Maslow (1908-1970) dalam teori psikologinya, yakni semakin tinggi need achievement yang dimiliki seseorang semakin serius ia menggeluti sesuatu itu. Jadi, guru merupakan motivator yang memperlihatkan sejumlah manfaat dalam setiap sajian pembelajaran.
Hal lain yang bisa dilakukan untuk mengembangkan motivasi dan minat siswa adalah dengan mengajak mereka melihat pengalaman-pengalaman yang pernah dimilikinya dan dijadikan topik pembelajaran dengan memperhatikan konteks kurikulum dan emosional psikologis siswa. Banyak lembaga pra-sekolah sudah mulai menggunakan metode
active learning atau learning by doing, atau learning through playing, salah satu tujuannya adalah agar siswa mengasosiasikan belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan. Siswa diberi kebebasan untuk mengekspresikan dirinya melalui apresiasi pengalaman konkret. Tapi seringkali karena keterbatasan waktu dan banyaknya mata pelajaran yang harus disajikan untuk siswa, hal ini agak sulit dipraktekkan. Minimalnya, guru mensetting suasana belajar dengan menghindari omelan-omelan, karena dengan itu siswa akan mengasosiasikan suasana belajar sebagai hal yang menarik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar