MGMP SOSIOLOGI SMA KOTA TEGAL

MGMP SOSIOLOGI SMA KOTA TEGAL
Forum untuk peningkatan profesonalitas Guru

Jumat, 04 Juni 2010

BELAJAR SOSIOLOGI DENGAN MULTI MEDIA

Oleh : Noerhidayah S.,S.Sos. (Ketua MGMP Sosiologi Kota Tegal/ Guru SMA 3 Kota Tegal
(Disarikan dari hasil penelitian "Strategi Pembelajaran Sosiologi di SMA Negeri/ Swasta se-Kota Tegal ; Suatu Studi Deskripsif )

Pembelajaran adalah proses rangsangan dan gerak balas siswa. Dalam rangsangan itu terkandung pesan intelektual, emotif dan afektif. Pesan akan lebih mudah ditangkap oleh siswa apabila tersajikan melalui media empirik yang beranekaragam, seperti film, slide, foto, grafik serta diagram. Dari media inilah siswa terpacu untuk mengeluarkan ide, konsep atau membantu mereka mencerna sesuatu yang abstrak.
Dengan fasilitas empirik itu sesuatu yang abstrak atau bersifat historis direduksi pada suatu kenyataan yang bisa diinderai. Dengan demikian, persepsi temporal dan kebutuhan untuk mempelajarinya bisa muncul. Apabila siswa dilengkapi dengan insentif yang memadai maka kemampuannya untuk berasosiasi dan beradaptasi pun dapat diperoleh dengan segera.
Berkaitan dengan aktualisasi fasilitas empirik ini, tidak ada salahnya bagi guru untuk menjadikan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat sebagai topik aktual dalam pembelajaran. Hal ini penting dilakukan agar siswa berimpresi positif bahwa sebenarnya pengetahuan itu bisa diperoleh lewat lingkungan sekitarnya, dan bahkan pengetahuan itu terjadi dan sudah ada dalam dirinya. Yang harus mereka lakukan sekarang adalah memposisikannya secara konseptual dan tercerna dalam strata yang diajukan oleh Bloom. Agar hal ini bisa terjadi maka guru perlu mempersiapkan skenario pembelajaran yang tepat dan sesuai.
Di bawah ini diberikan salah satu contoh pembelajaran yang menggunakan strata intelektual dan multimedia. Sebelum guru tampil di depan siswanya, guru sudah memikirkan atau memiliki konsep tertentu tentang topik yang ingin dibahas. Konsep itu tidak lain berupa sasaran kompetensi dan suasana yang ingin dibangun dalam pembelajaran. Dalam bahasa khas standarisasi nasional disebut dengan istilah RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) berupa penetapan indikator pencapaian kompetemsi dan tujuan pembelajaran dari suatu topik bahasan. Misalnya, suatu topik mengenai Dampak-Dampak Negatif dari perubahan sosial. Indikator pencapaian kompetensinya adalah siswa dapat memahami dampak-dampak negatif dari perubahan sosial dan mengekplorasi pengalaman inderawinya serta mempunyai perspektif tertentu terhadap dampak-dampak tersebut. Kompetensi yang harus dimiliki siswa setelah pelajaran itu selesai ialah menyebutkan dampak-dampak negatif dari perubahan sosial, menghubungkan dampak yang satu dengan dampak yang lain, menjelaskan kebijaksanaan yang ditempuh pemerintah, siswa dapat mengobjeksi kebijaksanaan tersebut, memberikan alternatif pemecahan dan siswa dapat mempunyai konsep sendiri tentang usaha-usaha mengatasi dampak negatif perubahan sosial.
Guru dapat menggunakan pendekatan rasional atau fungsional untuk topik ini karena selain guru menyampaikan konsep atau teori yang harus dicerna oleh siswa, guru juga menginginkan perilaku tertentu yang harus dimiliki oleh siswa, seperti aktivitas membaca koran/majalah atau mengangkat situasi-situasi hidupnya. Dalam pembelajaran, guru boleh menggunakan tiga metode sekaligus yaitu metode ceramah, diskusi dan tugas. Tentu saja guru harus terlebih dahulu mencari referensi buku, media massa dan pengalaman-pengalaman aktual pada lingkungan sekitarnya.
Pada sesi pembahasan guru dapat menyajikan informasi mengenai perubahan sosial, seperti pengertiannya, faktor penyebab urbanisasi, contoh-contoh mengenai dampak positif dan negatif perubahan sosial. Uraian itu disajikan terstruktur, singkat dan jelas.
Untuk membangkitkan perhatian dan menarik minat siswa maka sebelum memulai topik itu, terlebih dahulu disajikan gambar, foto, film atau slide OHP yang berhubungan dengan dampak-dampak negatif perubahan sosial. Guna merangsang ingatan dan pengetahuan siswa, mereka diberi kesempatan untuk berkomentar atau menyampaikan tanggapannya masing-masing terhadap apa yang disajikan itu. Guru juga boleh menanyakan apakah mereka mempunyai cerita atau pengalaman yang mirip sama. Bagaimana mereka memberikan tanggapannya masing-masing terhadap cerita atau pengalaman itu. Guru kemudian menghubungkan realitas atau kesan inderawi itu dengan topik bahasan yang ingin dipelajari. Setiap jawaban yang diberikan selalu ditanggapi dengan penguatan materi yang tepat.
Guru menjelaskan pengertian perubahan sosial dan faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sosial serta memperlihatkan contoh-contoh positif dan negatif dari perubahan sosial serta menyebutkan salah satu kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah, misalnya untuk mengatur jarak kelahiran, maka program Keluarga Berencana dilaksanakan.
Demi melibatkan peran aktif siswa, maka mereka dibagi dalam kelompok-kelompok dan mendiskusikan dampak-dampak negatif itu, membandingkan dampak yang satu dengan yang lain. Mereka menjelaskan strategi yang pernah mereka atau pemerintah lakukan. Melihat keunggulan dan kelemahannya dan mengemukakan alternatif pemecahan baru. Guru bisa melakukan gerak mendekati, mengunjungi kelompok-kelompok itu dan menanyakan kesulitan apa yang dialami siswa dalam tugas itu.
Hasil diskusi kelompok dilaporkan dan masing-masing kelompok memberikan kritik dan tanggapan atas hasil diskusi itu. Kemudian, sebagai moderator guru memberikan masukan seimbang terhadap yang masih kurang. Salah seorang siswa diminta menyimpulkan hasil diskusi. Sebagai bahan tugas dan sekaligus mengevaluasi konsep yang dimiliki siswa, guru menyampaikan salah satu dampak positif dan negatif dari perubahan sosial dan meminta siswa membeberkan solusi yang sudah pernah diambil pemerintah, menemukan kelemahan dan kelebihannya, mencari solusi alternatif serta memikirkan langkah-langkah apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi jumlah penduduk dengan menggalakkan program Keluarga Berencana.

HASIL SELEKSI GURU PEMANDU SOSIOLOGI TAHUN 2010

Baru-baru ini kami dari MGMP Sosiologi SMA Kota Tegal telah mengikuti Seleksi Guru Pemandu Sosiologi yang diadakan oleh Lembaga Pemjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Tengah pada hari Kamis, 15 April 2010 jam 08.00 - 13.30 bertempat di LPMP Jateng, Jalan Kyai Mojo, Srondol Semarang. Calon yang ikut seleksi Guru Sosiologi SMA Kota Tegal yaitu :
a. Siti Hajar, S.Sos. SMA Negeri 3 Tegal
b. Erni Ekawati, S.Sos. SMA Negeri 4 Tegal
c. Puji Mustikaningrum SMA Negeri 5 Tegal
d. Dra. Umyati SMA Negeri 5 Tegal
e. Dra. Nurlatifah SMA Al Irsyad Tegal
f. Dra. Chamidah SMA Al Irsyad Tegal
g. E. Prabowo W., S.Pd. SMA Pius Tegal
h. Drs. Mukhlasin SMA Muhammadiyah Tegal
i. Prihatin Endah S.,SE. SMA Ihsaniyah Tegal

berdasarkan hasil seleksi Guru Pemandu, diambil 3 (tiga) orang yang diangkat sebagai Guru Pemandu Sosiologi SMA Kota Tegal yaitu :
a. Siti Hajar, S.Sos. SMA Negeri 3 Tegal
b. Erni Ekawati, S.Sos. SMA Negeri 4 Tegal
c. Puji Mustikaningrum SMA Negeri 5 Tegal

Selamat kepada rekan yang mendapat amanah sebagai Guru Pemandu Sosiologi SMA Kota Tegal. Mari kita rapatkan barisan untuk meningkatkan kinerja dan profesionalitas kita sebagai guru.

Info sementara : Training of Trainer (ToT) Guru Pemandu Sosiologi SMA in Service 1 Insya Allah akan dilaksanakan pada tanggal 25 s.d. 27 Juni 2010. Surat undangan menunggu surat dari LPMP dan surat tigas dari Dinas Pendidikan Kota Tegal.

Sabtu, 22 Mei 2010

FORUM ILMIAH GURU SOSIOLOGI

Hasil Wawancara dengan Guru Sosiologi SMA se-Kota Kota Tegal tentang :
Rendahnya Minat mempelajari Sosiologi
(Peneltian Deskripstif Kualitatif - Oleh Noerhidayah S.,S.Sos. - Guru SMA N 3 Tegal)


Anggapan negatif terhadap mata pelajaran Sosiologi tidak bisa dilepaskan dari faktor internal dan eksternal. Yang dimaksud dengan faktor internal adalah segala hal yang terkait langsung dengan proses pembelajaran Sosiologi di SMA seperti materi, buku teks, guru pengampu mapel , strategi/metode pembelajaran, fasilitas belajar, hasil evaluasi/ujian. Sedangkan faktor eksternal adalah anggapan yang hidup dalam masyarakat, termasuk di lingkungan guru sendiri, tentang keberadaan ilmu sosial dalam masyarakat. Berikut ini akan penulis uraikan tentang faktor internal dan eksternal.
1. Faktor Internal
a. Materi
Materi Sosiologi yang tertuang dalam Standat Isi dan secara lebih rinci ditulis buku teks / bahan ajar mata pelajaran Sosiologi kurang realistis dan kurang jelas apa yang hendak dicapai. Dalam jangka waktu yang sangat pendek, siswa dipaksa untuk menguasai materi yang sangat banyak dan penuh dengan berbagai konsep abstrak yang sebagian tidak konstektual. Menurut penuturan Informan 1 ( Yuni Kurniawati, guru SMA 2 Tegal) dikatalan bahwa Materi pelajaran Sosiologi di SMA kebanyakan berisi berbagai definisi yang kurang relevan dengan situasi sehari-hari masyarakat Indonesia, termasuk kehidupan siswa.Kalau hal ini terjadi, maka akan memaksa seluruh siswa untuk kenjadi Sosiolog. Jangankan mereka tertarik menjadi Sosiolog, siswa malah menjadi semakin jenuh karena otak siswa dijejali dengan berbagai definisi, mulai interaksi sosial, sosialisasi, nilai dan norma sosial, penyimpangan sosial, pengendalian sosial dan lain-lain. Konsep-konsep tersebut terpaksa siswa hapalkan tanpa tah apa relevansinya bagi kehidupan mereka. Dengan materi seperti sekarang ini, siswa Cuma menghapalkan konsep-konsep dalam Sosiologi untuk keperluan ulangan atau ujian semata. Dan setelah selesai ujian/ulangan, selesai juga konsep itu melekat dalam otak siswa.
Sementara Informan 2 ( Drs. Mukhlasin, guru Sosiologi SMA Muhammadiyah Tegal ) menyatakan bahwa mata pelajaran Sosiologi seharusnya dirancang sebagai mata pelajaran yang sederhana dan mengasyikkan bagi siswa. Dengan bantuan beberapa konsep yang sederhana dan tidak disusun bak mantra yang harus dihapalkan oleh siswa, sehingga Sosiologi seharusnya menjadi alat analisa yang membantu siswa untuk memahami, menilai dan merespon secara kritis dinamika dan perubahan sosial yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengacu pada gagasan seperti ini, revisi kurikulum Sosiologi perlu segera dilakukan.


b. Buku Teks Pelajaran Sosiologi
Buku adalah turunan dari kurikulum. Ketika kurikulumnya problematis, maka buku-buku yang merupakan bentuk operasional dari kurikulum tersebut juga akan problematis. Menurut Informan 3 (Sri Guningsih, S.Sos., guru Sosiologi SMA Al Irsyad Tegal), dikatakan bahwa berbagai buku-buku mata pelajaran Sosiologi yang beredar di sekolah-sekolah adalah turunan buruk dari kurikulum yang juga buruk karena ditulis oleh orang-orang yang kurang kompeten. Kebanyakan buku yang beredar hanya copy paste dari buku-buku buruk yang beredar sebelumnya yang rata-rata meng-copy paste begitu saja dari buku-buku untuk kalangan mahasiswa universitas. Kreatifitas penulis untuk mensiasati materi kurikulum yang buruk dengan menyusun buku yang sederhana, tidak normatif, tidak terlalu abstrak, menyenangkan dan merangsang rasa ingin tahu siswa kurang nampak dalam dalam berbagai buku mata pelajaran Sosiologi yang beredar di pasaran. Kreatifitas yang kurang mencerminkan kompetensi penulis yang juga kurang. Seyogyanya mulai sekarang peningkatan kompetensi, uji kompetensi dan sertifikasi penulis buku oleh instansi yang berkompeten seperti pusat perbukuan Depdiknas maupun lembaga independen seperti universitas (utamanya yang memiliki jurusan Sosiologi) mulai dilakukan untuk meningkatkan kualitas bahan ajar (buku teks mata pelajaran). Apabila tidak memenuhi kriteria tersebut, maka seseorang tidak diijinkan untuk menulis buku teks mata pelajaran Sosiologi. Selain itu,aturan hak cipta penulisan buku teks pelajaran juga perlu ditegakkan.
c. Guru Pengampu Mata pelajaran Sosiologi
Menurut penuturan Informan 4 ( Siti Hajar, S.Sos. guru Sosiologi SMA 2 Tegal ) dikatakan bahwa kebanyakan guru-guru pengampu mata pelajaran Sosiologi SMA di kota Tegal tidak memiliki latar belakang dan kompetensi untuk mengajar mata pelajaran Sosiologi. Hal ini dikarenakan sebagian besar ( 88% ) guru sosiologi di Kota Tegal mempunyai latar belakang pendidikan yang tidak sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan . Sebagian dari guru pengampu mata pelajaran Sosiologi berlatar belakang Pendidikan Geografi, Sejarah, PKn, Agama, dan Ekonomi. Mereka mungkin bisa mengajar, namun sebenarnya jiwa Sosiologi hanya dapat diberikan oleh mereka yang bertahun-tahun menggeluti ilmu Sosiologi. Bahkan bukan cuma tidak memiliki jiwa Sosiologi, ada pula guru yang kurang memahami beberapa materi dalam mata pelajaran Sosiologi, terutama untuk yang sifatnya teknis seperti metodologi penelitian sosial. Lebih lanjut Siti Hajar, S.Sos. menyatakan bahwa peningkatan kompetensi guru melalui pendidikan lanjutan (S-2 atau S-3 Sosiologi) dan mengikuti berbagai macam pelatihan adalah jalan keluar atau solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi persoalan buruknya kualitas sumber daya manusia guru-guru mata pelajaran Sosiologi SMA.
d. Metode Pembelajaran Sosiologi
Berdasarkan pengamatan dan curah pengalaman guru-guru Sosiologi SMA se-Kota Tegal dapat dilihat bahwa metode pembelajaran yang banyak dilakukan oleh guru-guru Sosiologi adalah metode ceramah berdasarkan teks. Pada metode ini, siswa mendengarkan dan mencatat materi yang dijelaskan guru di depan kelas melalui metode ceramah Hal ini menyebabkan siswa menjadi jemu dan proses pembelajarannya menjadi kurang diminati oleh siswa, Namun demikian metode inisering digunakan oleh guru-guru Sosiologi SMA di kota Tegal karena metode ini dinilai merupakan cara yang paling aman bagi guru untuk menutupi ketidakmampuannya. Hal ini juga merupakan cara yang paling ampuh juga untuk membungkam pertanyaan-pertanyaan kritis siswa yang jawabannya tidak ada di dalam buku teks yang menjadi pegangan guru.
Lebih lanjut Informan 5 (Dian Sukmawati, S.Sos. guru Sosiologi SMA Muhammadiyah Tegal) menuturkan bahwa Sosiologi merupakan ilmu tentang masyarakat. Pemahaman, penilaian, respon atas persoalan masyarakat tentu saja tidak bisa disusun semata-mata di dalam ruang belajar melalui ceramah atas dasar buku teks saja. Di ruang kelas, siswa memang harus memahami berbagai konsep Sosiologi. Namun siswa juga harus didorong untuk mengaitkan / menghubungkan konsep-konsep tersebut melalui berbagai macam kegiatan lapangan (pengamatan/observasi, survei sederhana, analisis isi media dan sabagainya) yang hasilnya ditulis untuk kemudian dipresentasikan di depan kelas sebagai bahan diskusi. Dengan cara seperti ini, siswa bukan saja bisa bersikap kritis terhadap konsep-konsep Sosiologi, namun juga terhadap dinamika sosial yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari (mempertanyakan, menganalisa dan tidak menutup kemungkinan siswa dapat memberikan tawaran alternatif atas berbagai konsep-konsep Sosiologi yang berhubungan dengan permasalahan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Kalau metode pembelajaran Sosiologi ini dapat diterapkan dalam proses pembelajaran Sosiologi SMA, maka Sosiologi bisa menjadi mata pelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi siswa.
e. Fasilitas Belajar
Beragam materi dalam mata pelajaran Sosiologi membutuhkan dukungan berbagai fasilitas belajar, mulai dari buku-buku teks pelajaran, buku referensi / buku penunjang, koran, majalah, fasilitas internet, laboratorium komputer dan sebagainya. Untuk sekolah-sekolah miskin di pinggiran / pedalaman, hal ini tentu sangat memberatkan.Menurut Informan 6 ( Prihatin Endah Susanti, SE, Guru Sosiologi SMA Ihsaniyah Tegal ), dikatakan bahwa meskipun sekolah sangat terbatas fasilitas belajar untuk pembelajaran sosiologi, biasanya guru-guru yang kreatif dan inovatif akan selalu melihat peluang untuk maju di tengah segala keterbatasan fasilitas belajar, dimananya biasanya guru-guru tersebut biasanya dapat mensiasati keadaan seperti ini. Ketika tidak laboratorium komputer untuk mengolah hasil survei sederhana, cara manual yang dilakukan. Ketika koran, majalah untuk analisa isi tidak tersedia, maka metode etnografi sederhana, oral history bisa digunakansebagai penggantinya. Yang paling penting adalah siswa belajar konsep di kelas, untuk peningkatan pemahaman siswa diberi tugas untuk turun ke lapangan untuk melakukan pengamatan / orbservasi, setelah itu membuat tulisan / laporan hasil observasi dan atau mendiskusikan hasil observasi dari lapangan.
f. Ujian
Karena yang diajarkan di kelas adalah definisi-definisi yang harus dihapalkan oleh siswa, maka seperti itu jugalah materi unutk ulangan maupun ujian mata pelajaran Sosiologi. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari tuntutan kurikulum yang mengharuskan siswa menguasai kompetensi tertentu maupun dari bahan ajar / buku teks mata pelajaran Sosiologi sebagai turunannya yang juga berperspektif hapalan. Menurut penuturan Informan 7(Siti Aisyah, S.Pd.,Guru Sosiologi SMA NU Tegal) dikatakan bahwa ulangan/ ujian Sosiologi hendaknya mencerminkan pengetahuan siswa tentang konsep, kemampuan analisa atas data dari hasil observasi/pengamatan di lapangan, kritik terhadap konsep dan rekomendasi , yang dituangkan dalam bentuk tulisan / laporan / makalah sederhana dan dipresentasikan di depan siswa lainnya. Ini tentunya disesuaikan dengan konteks siswa SMA, bukan ahli Sosiologi (Sosiolog) maupun peneliti sosial.
2. Faktor Eksternal
Menurut penuturan Informan 8 (Dra. Khamidah, guru SMA Al Irsyad Tegal) dikatakan bahwa anggapan negatif siswa terhadap mata pelajaran Sosiologi adalah cerminan dari anggapan masyarakat termasuk orang tua siswa maupun guru lain di sekolah. Hal ini bisa dipahami karena guru-guru yang bergelut dalam ilmu ini di kota Tegal, termasuk guru-guru Sosiologi SMA di kota Tegal tidak memperhatikan sinyal atau prestasi yang bisa menumbuhkan anggapan yang positif. Yang terpenting yang harus diperhatikan adalah melakukan pembenahan-pembenahan internal (seperti menggunakan model-model pembelajaran yang dapat menarik minat siswa untuk belajar sehingga anggapan negatif mereka tentang mata pelajaran Sosiologi akan semakin berkurang bahkan hilang). Lebih baik guru-guru menunjukkan profesiolitas dan kreativitasnya dalam pembelajaran dan secara terus-menerus daripada mengeluh atau sibuk membela diri atas angapan negatif siswa dan masyarakat terhadap mata pelajaran Sosiologi.

Jumat, 21 Mei 2010

POJOK ILMIAH GURU

Membentuk Kemampuan Berpikir Siswa dalam Pembelajaran Sosiologi
Oleh : Noerhidayah S.,S.Sos.
Ketua MGMP Sosiologi Kota Tegal / Guru SMA N 3 Kota Tegal

Proses pembelajaran pada dasarnya sangat berkaitan erat dengan pembentukan dan penggunaan kemampuan berpikir. Siswa akan lebih mudah mencerna konsep dan ilmu pengetahuan apabila di dalam dirinya sudah ada struktur dan strata intelektual, sehingga ketika ia berhadapan dengan bahan atau materi pembelajaran, ia mudah menempatkan, merangkai dan menyusun alur logis, menguraikan.
Struktur dan strata intelektual terbentuk ketika intelek manusia beradaptasi dengan hal-hal yang diserap oleh pancaindera. Menurut ahli psikologi, Jean Piaget (1896-1980), sebagaimana tubuh kita mempunyai struktur tertentu agar dapat berfungsi, pikiran kita juga mempunyai struktur yang disebut skema atau skemata. Skema adalah struktur mental atau kognitif yang dengannya seorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya.
Skema juga bisa disebut sebagai konsep, gambaran atau kategori dalam diri manusia yang terjadi ketika manusia menggunakan pancainderanya. Gambaran itu akan semakin berkembang dan lengkap sesuai dengan tingkat kedewasaan manusia.
Apabila manusia mengintegrasikan gambaran baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya, maka ia melakukan proses asimilasi. Proses ini terjadi bila ada kesamaan dengan konsep yang sudah ada atau melengkapi konsep itu. Dikala manusia tidak menemukan kecocokan dengan konsep yang sudah ada maka manusia melakukan akomodasi. Dalam proses ini manusia membentuk skema baru.
Benyamin S. Bloom (1956) melengkapi pendapat Jean Piaget dengan membuat stratifikasi intelektual yaitu menerapkan gaya pembelajaran dengan memperhatikan aspek pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Memang diakui bahwa identifikasi strata intlektual ini jarang dimengerti dan diterapkan guru. Barangkali karena ketidaktahuan menggunakan prinsip-prinsip logika. Ukuran kemengertian siswa sebatas mempunyai jawaban persis sama dengan apa yang ada dalam buku, bukannya peta konsep (concept map) yang sama seperti kepunyaan guru. Belajar yang sesungguhnya adalah proses mentransfer konsep, seperti mempunyai kemampuan mengetahui apa yang dipelajari, membahasakannya dengan bahasa sendiri, menerapkannya dalam konteks yang praktis, mempunyai keahlian untuk membandingkan dan menganalisa serta bisa memberikan kesimpulan logis secara deduktif dan induktif dan seterusnya bisa menguraikan secara dialektis kesimpulan yang sudah disusunnya itu.
Kehadiran guru tidak lain membantu siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri berdasarkan strata intelektual itu dan memperlihatkan kesesuaiannya dengan kriteria kebenaran pengetahuan, yakni kebenaran yang selalu benar untuk setiap keadaan dengan konsep atau cara belajar yang sama, atau menurut referensi ahli dan acuan epistemologis yang membidanginya.

CATATAN SEORANG GURU

MENUMBUHKAN MOTIVASI UNTUK MEMPELAJARI SOSIOLOGI DI KELAS
Oleh : Noerhidayah Suprihatini, S.Sos.
Guru SMA Negeri 3 Kota Tegal



Persepsi-persepsi atau anggapan-anggapan negatif terhadap mata pelajaran Sosiologi telah menghinggapi sejumlah siswa SMA. Mata pelajaran Sosiologi oleh siswa dianggap sebagai mata pelajaran yang membosankan karena sajiannya bertele-tele dan untuk menguasainya dibutuhkan kemampuan menghafal yang luar biasa. Penilaian yang kurang mengesankan ini terlahir dari kenyataan bahwa ilmu sosiologi sebagai produksi masa lampau yang dalam penyajiannya tidak relevan dengan konteks sosial siswa. Kontekstualisme ini diperhebat dengan kejenuhan mental dalam mengejar tuntutan pemenuhan kurikulum tingkat satuan pendidikan yakni menghafal sejumlah kompetansi yang tersajikan dalam aneka buku wajib mata pelajaran Sosiologi. Seolah-olah para siswa telah terasing dari diri mereka dan telah menjadi robot kurikulum, sehingga mereka tidak mempunyai waktu lagi untuk bermain, refreshing dan melakukan interaksi sosial.
Tatkala guru menyajikan sejumlah teori sosial, mereka semakin bingung. Apa lagi, sajian-sajian itu tidak tepat sasaran dan tidak sesuai dengan situasi sosial lingkungan sekitarnya. Mereka harus berpikir dua kali untuk mengasosiasikan teori dengan kenyataan hidupnya dan selanjutnya mencerna teori sajian guru. Keterlambatan dalam menginternalisasi materi pun terjadi. Konsep siswa baru pada tahap asosiasi, tetapi waktu pelajarannya keburu selesai. Siswa enggan melanjutkan hal itu lagi karena sudah terjaring limit waktu dan harus beralih ke mata pelajaran yang lain.
Jika keacuhan siswa karena kehilangan persepsi/anggapan positif dalam mempelajari sosiologi maka yang terpenting yang harus dilakukan oleh guru adalah mempunyai pemahaman yang tangguh tentang motivasi dan menemukan pola pembelajaran yang menumbuhkan motivasi siswa. Morgan (1986) dalam bukunya Introduction To Psychology, menjelaskan bahwa siswa yang malas itu disebabkan karena tidak adanya insentif yang menarik bagi dirinya dan ia pun tidak merasakan perasaan yang menyenangkan dari pembelajaran. Insentif dan perasaaan menyenangkan ini menjadi dorongan yang berarti bagi siswa. Seseorang berperilaku tertentu karena ingin mendapatkan sesuatu. Contoh insentif yang paling umum dan paling dikenal oleh siswa misalnya jika mereka naik kelas akan dibelikan mobil atau sepeda baru oleh orang tua. Hal ini bukan berarti guru harus seperti orang tua yang membelikan mobil, tetapi menyiapkan insentif berupa pujian (reinforcement) atau kesempatan melakukan pekerjaan lain yang memungkinkan mereka tidak terpinggirkan dari kawan-kawan lainnya.
Pujian guru menunjukkan penghargaan dan perhatian terhadap siswa. Siswa seringkali haus perhatian dan senang dipuji. Jadi dari pada memberikan perhatian ketika siswa tidak mau belajar dengan cara marah-marah dan hanya berkomentar yang merendahkan siswa, akan lebih efektif perhatian guru diarahkan pada suatu hal yang menumbuhkan rasa percaya diri dan kemauan untuk mencari informasi. Misalnya, si A pada saat ini belum bisa menjawabnya dengan baik, mungkin besok dia akan mempresentasikan informasi tersebut secara lebih lengkap.
Kerapkali insentif positif seperti di atas kurang manjur dan bahkan tidak memberi faedah perubahan bagi siswa. Kalau demikian halnya maka guru harus melihat kondisi yang memungkinkannya. Jika kondisi memaksa guru harus mempergunakan insentif negatif maka tipe insentif itu haruslah yang bermaksud untuk menghindar perolehan insentif yang tidak menyenangkan itu. Misalnya, si A tidak mengerjakan tugas bukan karena ia tidak bisa tetapi karena malas, maka insentif yang bisa diberikan adalah menyuruhnya untuk mengerjakan tugas tetapi dalam porsi yang lebih banyak untuk mengejar ketinggalannya. Pada kondisi ini diperlukan keahlian guru untuk melihat karakter siswa. Jika karakternya dipahami maka guru akan memberikan insentif yang lebih tepat.
Selain adanya insentif, motivasi juga bisa muncul bila ada pemenuhan kebutuhan yang signifikan dalam mempelajari sesuatu. Siswa akan dipacu jika ia menemukan manfaat yang berarti bagi dirinya yang kemudian bisa dilanjutkan dengan aktualisasi dirinya melalui pembelajaran itu, sebagaimana dikatakan oleh Abraham Maslow (1908-1970) dalam teori psikologinya, yakni semakin tinggi need achievement yang dimiliki seseorang semakin serius ia menggeluti sesuatu itu. Jadi, guru merupakan motivator yang memperlihatkan sejumlah manfaat dalam setiap sajian pembelajaran.
Hal lain yang bisa dilakukan untuk mengembangkan motivasi dan minat siswa adalah dengan mengajak mereka melihat pengalaman-pengalaman yang pernah dimilikinya dan dijadikan topik pembelajaran dengan memperhatikan konteks kurikulum dan emosional psikologis siswa. Banyak lembaga pra-sekolah sudah mulai menggunakan metode
active learning atau learning by doing, atau learning through playing, salah satu tujuannya adalah agar siswa mengasosiasikan belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan. Siswa diberi kebebasan untuk mengekspresikan dirinya melalui apresiasi pengalaman konkret. Tapi seringkali karena keterbatasan waktu dan banyaknya mata pelajaran yang harus disajikan untuk siswa, hal ini agak sulit dipraktekkan. Minimalnya, guru mensetting suasana belajar dengan menghindari omelan-omelan, karena dengan itu siswa akan mengasosiasikan suasana belajar sebagai hal yang menarik.

HASIL PTK SOSIOLOGI

Hasil PTK Sosiologi
Oleh Noerhidayah Suprihatini,S.Sos.
Guru Sosiologi SMA Negeri 3 Tegal / Guru Pemandu
ABSTRAK
Kata kunci : Pembelajaran Masyarakat Multikultural, Sosiologi, Model Problem Based Learning

Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah: (a) Apakah dengan Model Problem Based Learning dapat meningkatkan penguasaan konsep Masyarakat Multikultural pada pembelajaran Sosiologi pada kelas XI IPS.1 SMA Negeri 3 Kota Tegal tahun pelajaran 2007/2008 ?, (b) Bagaimana perubahan tingkah laku yang menyertai peningkatan kualitas pembelajaran sosiologi melalui Model Problem Based Learning ?

Tujuan penelitian ini adalah: (a) Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sosiologi melalui Model Problem Based Learning pada kelas XI IPS.1, (b) untuk mengetahui perubahan tingkah laku yang menyertai peningkatan kualitas pembelajaran sosiologi melalui Model Problem Based Learning pada kelas XI IPS.1

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini dilaksanakan dalam tiga siklus. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada dua jenis yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data kuantitatif diperoleh dari hasil tes yang diolah dengan menggunakan deskripsi prosentase. Nilai yang diperoleh siswa dirata-rata untuk menemukan tingkat penguasaan konsep Masyarakat multikultural dalam pembelajaran sosiologi. Data kualitatif diperoleh dari observasi, wawancara dan jurnal yang diklasifikasi berdasarkan aspek-aspek yang dijadikan bahan analisis. Data kuantitatif dan kualitatif ini kemudian dicari hubungannya sebagai dasar untuk memaparkan keberhasilan penerapan Model Problem Based Learning, yang ditandai dengan peningkatan penguasaan konsep masyarakat multikultural dalam pembelajaran sosiologi secara klasikal dan perubahan tingkah laku yang menyertainya. Penelitian ini dilaksanakan minggu kedua Maret 2008 sampai dengan akhir april 2008 di SMA Negeri 3 Kota Tegal.

Kesimpulan penelitian ini adalah: (a) Model Problem Based Learning dapat meningkatkan penguasaan konsep masyarakat multikultural dalam pembelajaran sosiologi pada kelas XI IPS.1 SMA Negeri 3 Kota Tegal tahun pelajaran 2008/2009. Peningkatan penguasaan tersebut meliputi aspek kognitif, aspek psikomotor dan aspek afektif baik secara individual maupun secara klasikal, (b) Perubahan tingkah laku yang menyertai peningkatan kualitas pembelajaran itu adalah terjadinya peningkatan dalam hal: kepekaan para siswa dalam mengidentifikasi masalah sosial, kemampuan sejumlah siswa dalam berargumentasi, dan meningkatnya motivasi dalam mengikuti pembelajaran sosiologi.

Selasa, 10 November 2009

DIKLAT MATA PELAJARAN SOSIOLOGI SMA TINGKAT NASIONAL TAHUN 2009

Dalam rangka mengembangkan Kompetensi guru baik kompetensi paedagogik, kepribadian, sosial maupun kemampuan profesional , guru diharapkan selalu meningkatkan profesionalitas melalui berbagai kegiatan ilmiah guru yang bertujuan untuk menambah wawasan, pengalaman dan inovasi dalam pembelajaran di kelas (khususnya pemanfaatan komputer dan internet dalam pembelajaran dan inovasi dalam pembuatan bahan ajar yang menarik, inovatif, kreatif dan menyenangkan bagi peserta didik). Oleh karena itul MGMP Sosiologi Kota-Kab Tegal dan Kab Brebes telah menyelenggarakan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Nasional Tahun 2009 pada tanggal 9 s.d. 10 November 2009 bertempat di Gedung Serbaguna SMA Negeri 3 Tegal dengan tema :

Peningkatan Profesionalitas Guru dalam Merancang Pembelajaran Sosiologi yang Inovatif, Kreatif dan Menyenangkan bagi Peserta Didik . Adapun tujuan diselenggarakan Diklat Mapel Sosiologi antara lain: Memberikan bekal pengetahuan dan ketrampilan guru Sosiologi, Meningkatkan kemampuan guru dalam merancang Pembelajaran Sosiologi yang Inovatif, Kreatif dan Menyenangkan bagi Peserta Didik, Meningkatkan ketrampilan dan kemampuan guru dalam pemanfaatan komputer dan internet dalam proses pembelajaran di kelas